TNI dan Pemerintah Tegaskan Prajurit Tak Jadi Penyidik Sipil dalam RUU Ketahanan Siber -->

Header Menu

TNI dan Pemerintah Tegaskan Prajurit Tak Jadi Penyidik Sipil dalam RUU Ketahanan Siber

Jurnalkitaplus
13/10/25




Jurnalkitaplus – Pemerintah bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) menegaskan bahwa prajurit tidak akan menjadi penyidik terhadap masyarakat sipil dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan dan Keamanan Siber (KKS). Klarifikasi ini disampaikan menyusul munculnya kekhawatiran publik bahwa RUU tersebut memberi kewenangan berlebih kepada TNI di ranah penegakan hukum siber.


Kekhawatiran Publik soal Peran TNI

Sejumlah organisasi masyarakat sipil sebelumnya menyoroti Pasal 56 Ayat (1) huruf d dalam draf RUU KKS yang dianggap membuka peluang bagi prajurit TNI untuk menjadi penyidik tindak pidana siber. Mereka menilai pasal tersebut berpotensi mengaburkan batas antara yurisdiksi sipil dan militer, serta menimbulkan risiko pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Koalisi masyarakat sipil menegaskan bahwa keterlibatan militer dalam ranah hukum sipil dapat mengancam prinsip demokrasi dan akuntabilitas hukum. Oleh karena itu, mereka meminta pemerintah untuk menghapus ketentuan yang memungkinkan peran penyidikan oleh TNI dalam kasus siber.


Respons TNI: Batasan Jelas, Tak Sentuh Ranah Sipil

Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Freddy Ardianzah menegaskan bahwa jika TNI memiliki peran dalam RUU KKS, maka hal itu hanya terbatas pada ranah pertahanan negara di ruang siber dan tidak akan menyentuh penegakan hukum terhadap warga sipil.

“Ranah siber TNI jelas. Kami tidak akan memeriksa warga sipil,” tegas Freddy. Ia menjelaskan, penyidikan oleh TNI hanya berlaku secara internal, misalnya jika ada anggota militer yang terlibat dalam pelanggaran siber atau koneksitas dengan pihak lain.

Freddy juga menambahkan bahwa RUU KKS masih dalam proses harmonisasi, sehingga masih terbuka untuk menerima masukan dari publik dan pihak-pihak terkait agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga.


Penjelasan Pemerintah

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa RUU KKS tidak secara eksplisit menyebut TNI sebagai penyidik tindak pidana siber. Menurutnya, kewenangan penyidikan dalam konteks RUU ini akan tetap mengacu pada undang-undang lain yang sudah berlaku, seperti KUHAP dan peraturan terkait Polri maupun PPNS.

“RUU KKS tidak mengatur penyidik baru. Ketentuan penyidik tetap merujuk pada undang-undang yang ada,” jelas Supratman. Ia memastikan, peran TNI hanya berlaku untuk kepentingan pertahanan siber, bukan penegakan hukum terhadap masyarakat umum.


Meski klarifikasi sudah disampaikan, sejumlah pengamat menilai bahwa pemerintah tetap perlu memperjelas batas yurisdiksi antara TNI dan lembaga sipil agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Pengawasan dan mekanisme akuntabilitas juga harus diperkuat, terutama bila TNI diberikan wewenang penyidikan di lingkup internal. Tanpa batasan yang tegas, kekhawatiran publik soal penyalahgunaan kewenangan bisa tetap muncul di kemudian hari.


Dengan penegasan dari TNI dan pemerintah, isu prajurit menjadi penyidik dalam RUU Ketahanan Siber kini mulai menemukan titik terang. Namun, publik masih menantikan rumusan akhir RUU ini agar tetap sejalan dengan prinsip supremasi sipil, transparansi, dan perlindungan HAM dalam tata kelola keamanan siber nasional. (FG12)